Kemiskinan masih menjadi isu yang sangat mendasar dalam pembangunan di Indonesia, menciptakan tantangan yang kompleks bagi pemerintahan dan masyarakat. Data terbaru menunjukkan, pada Maret 2025, jumlah penduduk miskin nasional mencapai angka 8,47 persen, yang setara dengan sekitar 23,85 juta orang. Meskipun angka ini mengalami penurunan dibandingkan periode sebelumnya, permasalahan yang mendasari masih jauh dari kata rampung.
Tidak hanya angka kemiskinan yang menjadi sorotan, tetapi juga ketimpangan distribusi kekayaan di masyarakat. Dengan garis kemiskinan nasional yang ditetapkan pada Rp609.160 per kapita per bulan, situasi ini menunjukkan adanya disparitas yang nyata antara kelompok masyarakat. Dengan rata-rata 4-5 anggota dalam suatu rumah tangga, tantangan keadilan sosial semakin membutuhkan perhatian lebih.
Menilai ketimpangan, Gini Rasio pada Maret 2025 tercatat sebesar 0,379, yang menunjukkan adanya sedikit perbaikan dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun menunjukkan kemajuan, tingginya Gini Rasio ini mencerminkan bahwa keuntungan dari pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati secara merata, sering kali menyisakan kelompok masyarakat bawah yang terpinggirkan.
Pentingnya Mengukur Ketimpangan Melalui Gini Rasio
Gini Rasio berfungsi sebagai ukuran relatif untuk menilai distribusi kekayaan di dalam masyarakat. Dengan angka yang masih tinggi, artinya, meskipun kemiskinan menunjukkan penurunan, dampak dari pertumbuhan ekonomi tetap tidak merata. Ini menimbulkan konsekuensi serius, yaitu “pertumbuhan tanpa keadilan,” yang dapat membahayakan stabilitas sosial di masa depan.
Secara umum, Gini Rasio Indonesia berada dalam kategori ketimpangan sedang. Namun, hal ini menunjukkan bahwa ada variasi ketimpangan yang cukup mencolok antara provinsi yang satu dengan yang lainnya. Beberapa daerah bahkan menunjukkan ketimpangan yang sangat signifikan, sementara yang lain lebih merata.
Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa di daerah perdesaan, angka kemiskinan masih mencapai 11,03 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan yang hanya 6,73 persen. Kesenjangan ini menyoroti bahwa akses terhadap sumber daya dan layanan dasar sangat berbeda antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Pola Ketimpangan Antarprovinsi yang Mencolok
Pola ketimpangan antarprovinsi diperlihatkan melalui Gini Rasio yang berbeda-beda. Provinsi dengan ketimpangan relatif tinggi, di atas 0,40, biasanya terletak di pusat-pusat ekonomi atau wilayah perkotaan besar. Di sisi lain, provinsi yang mengalami ketimpangan rendah sering kali adalah daerah dengan populasi berpendapatan rendah secara menyeluruh.
- Provinsi dengan Ketimpangan Relatif Tinggi. Ini mencakup wilayah seperti DKI Jakarta dan Bali, di mana terdapat konsentrasi penduduk kaya dan angka kemiskinan yang signifikan dalam lingkungan padat.
- Provinsi dengan Ketimpangan Sedang. Di wilayah hampir seluruh Jawa dan beberapa bagian Sumatera, terdapat kelas menengah yang cukup besar, tetapi kesenjangan antara wilayah urban dan rural masih sangat nyata.
- Provinsi dengan Ketimpangan Relatif Rendah. Contohnya di Nusa Tenggara Timur dan Maluku, di mana meskipun distribusi pendapatan lebih merata, kebanyakan penduduknya berada pada tingkat penghasilan rendah.
Tantangan yang Dihadapi dalam Mengatasi Ketimpangan
Salah satu tantangan utama adalah urbanisasi yang pesat, yang menjadikan kota-kota besar sebagai pusat ketimpangan. Di sini, akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan sering kali kurang memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang lebih miskin.
Ketergantungan pada sektor primer, seperti pertambangan dan perkebunan, menjadi isu lain yang membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal. Hal ini menyebabkan keuntungan lebih banyak dinikmati oleh investor besar, sementara penduduk asli tidak mendapatkan manfaat yang memadai.
Kualitas sumber daya manusia juga berperan penting dalam memperlebar jurang ketimpangan antarprovinsi. Provinsi yang memiliki akses pendidikan yang lebih baik cenderung memiliki kelas menengah yang lebih kuat dan mapan, sementara yang lainnya tetap tertinggal.
Rekomendasi Kebijakan untuk Mengurangi Ketimpangan
Dalam rangka mengatasi masalah ini, pendekatan berbasis wilayah sangat penting. Di provinsi dengan Gini Rasio tinggi, kebijakan redistribusi harus diterapkan, melalui program subsidi atau rumah murah, agar manfaat pertumbuhan bisa lebih merata.
Pendekatan lain adalah memperluas akses sumber daya manusia, terutama di daerah-daerah yang tertinggal. Investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasi sangat esensial untuk menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Pengembangan ekonomi lokal juga perlu diutamakan. Mengembangkan usaha mikro dan kecil serta koperasi di wilayah luar Jawa dapat membantu memperkecil jurang ketimpangan dan menumbuhkan kemandirian ekonomi.
Akhirnya, analisis yang lebih granular mengenai Gini Rasio sebaiknya dilakukan, dengan mempertimbangkan skala kabupaten atau desa, agar kebijakan yang diambil lebih efektif dan tepat sasaran. Pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya memerlukan pengurangan angka kemiskinan, tetapi juga harus mendorong pemerataan yang lebih baik bagi seluruh lapisan masyarakat.
















