Sabtu, 4 Oktober 2025 – 20:00 WIB. Dalam sebuah ruang rapat di ibu kota, seorang entrepreneur bernama Arga tengah merenungkan ambisi besar. Dia ingin menghadirkan inovasi yang dapat mendongkrak efisiensi operasional serta menghilangkan lapisan birokrasi yang sering menghambat kemajuan. Namun, ada ketakutan mendalam yang selalu mengganggu pikirannya; jika idenya tidak berjalan seperti yang diharapkan, ia bisa dituduh menimbulkan kerugian negara, bahkan harus menghadapi penjara.
Keputusan Arga pun terjebak antara harapan akan perubahan yang lebih baik dan kekhawatiran akan risiko yang mengintai. Ia akhirnya memilih untuk mengambil langkah aman dengan menerapkan perubahan kecil dan inovasi minimal. Langkah tersebut diambil agar tidak menarik perhatian auditor negara yang selalu membayangi setiap langkahnya. Dalam benaknya, niat baiknya bisa berujung pada konsekuensi hukum yang berat.
Kisah Arga mewakili banyak individu lain di lembaga negara yang terjebak dalam dilema serupa. Rasa takut ini ditimbulkan oleh konstruksi hukum yang ada, di mana istilah “kerugian negara” menjadi salah satu elemen yang rawan untuk digunakan sebagai pasal kriminal. Hal ini membuat mereka enggan melakukan terobosan yang diperlukan untuk kemajuan.
Ketakutan akan Tindakan Korupsi dan Rintangan Hukum di Indonesia
Dalam banyak hal, ketakutan akan tindakan korupsi sudah mengakar dalam perilaku pejabat dan pelaku bisnis di lembaga negara. Mereka sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berisiko. Seringkali, tindakan yang seharusnya merupakan langkah maju malah terhalang oleh kekhawatiran akan stigma korupsi.
Perhatian terhadap “kerugian negara” sebagai elemen utama dalam merumuskan tindakan korupsi membawa dampak negatif yang signifikan. Para pejabat merasa tindakan inovatif yang dapat menguntungkan negara malah mengundang risiko hukum. Kondisi ini membuat mereka lebih memilih untuk tidak bergerak atau bertindak sesuai dengan prosedur yang ada.
Secara khusus, di negara-negara maju, pendekatan hukum untuk korupsi berbeda. Mereka tidak menjadikan “kerugian negara” sebagai fokus utama. Sebaliknya, penekanan tersebut lebih pada perbuatan yang dianggap koruptif seperti suap dan penyalahgunaan jabatan. Hal ini memungkinkan inovasi tetap berjalan tanpa rasa takut akan konsekuensi hukum yang berat.
Perbandingan dengan Pendekatan Hukum di Negara-Negara Maju
Di Amerika Serikat, contoh regulasi mengenai tindakan korupsi sangat jelas. Misalnya, hukum federal lebih fokus pada tindakan itu sendiri, seperti suap dan pemerasan. Jika seseorang terlibat dalam perilaku tersebut, bisa dikenakan sanksi meski tidak ada kerugian negara yang konkretnya dapat dibuktikan.
Aspek lain yang perlu dicatat adalah bahwa dalam konteks hukum di negara tersebut, kerugian yang dialami negara tidak otomatis menjadi dasar untuk menuntut seseorang. Justru, ada banyak elemen hukum yang harus diperhatikan, seperti niat melakukan tindakan koruptif dan bukti adanya quid pro quo.
Selain itu, adanya False Claims Act (FCA) menunjukkan bahwa kerugian negara bisa dituntut dalam konteks yang berbeda. Di sini, kerugian negara menjadi landasan untuk restitusi perdata, bukan sebagai elemen tindakan pidana korupsi. Hal ini membuka peluang bagi individu untuk berinovasi dengan lebih leluasa tanpa khawatir akan konsekuensi hukum yang membelenggu.
Contoh Kasus Terkait dan Implikasi Hukum
Putusan terbaru dalam Snyder v. United States menjadi salah satu contoh dimana gratifikasi setelah tindakan resmi tidak serta merta dapat dianggap sebagai suap. Ini menunjukkan bahwa konstruksi hukum tidak hanya memuat elemen kerugian negara, tetapi juga mempertimbangkan datangnya bukti dan niat jahat di balik tindakan tersebut.
Dari segi aplikatif, hal ini memberikan sinyal positif bagi individu yang berani mengambil langkah inovatif dalam proyek negara. Tanpa adanya bukti konkret tentang niat buruk, maka kerugian negara tak seharusnya menjadi alasan untuk menjerat seseorang ke ranah pidana.
Di Jerman, regulasi serupa juga tercantum dalam KUHP mereka yang mengatur tentang korupsi, di mana penekanan terhadap gratifikasi dan penyalahgunaan jabatan menjadi fokus. Hal ini menandakan bahwa rintangan hukum yang ada cenderung lebih fleksibel dibandingkan dengan konstruk hukum di Indonesia.
Dengan demikian, untuk menuju sistem yang lebih dinamis dan terbuka terhadap inovasi, perlu ada reformasi menyeluruh terhadap kebijakan hukum yang mengatur tindakan korupsi di Indonesia. Terobosan dalam sektor publik tidak akan tercapai jika kekhawatiran akan tindak pidana korupsi terus menjadi penghalang utama bagi para pengambil keputusan.